Kamis, 24 Desember 2009

BATTLE MUG


Battle Mug starts as a 13.5 pound solid block of 6061 T6 billet aluminum before it enters a state of the art CNC facility in Huntsville, Alabama. This facility produces specialized parts and equipment for the U.S. Department of Defense, major weapons manufacturers, NASA, and a host of other companies working at the U.S. Rocket and Space Center.

Built to military specifications, Battle Mug features a M1913 rail interface system which allows the operator to mount a standard issue M4 carry handle, tactical light, laser device, holographic sight (we call them “beer goggles”) or even a bayonet for close quarters, high risk operations.

Each individually serialized Battle Mug features Mil-Spec Type III anodizing and a crenelated base and is built with the operator in mind.
Whether you are fighting drug lords deep inside the jungles of Colombia, stomping out Al Qaida terrorists in Falluja Iraq, or eradicating no-good hippies in Berkeley, California…

Battle Mug is built to take the abuse and will be there to offer you a frosty 24oz. reward once the mission is complete.

Rumah Sakit Belum Berpihak pada Rakyat Miskin

Jakarta - Rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, belum ramah terhadap warga dan pasien miskin.

Hal ini terbukti dengan banyaknya keluhan pasien miskin, terutama dari kelompok perempuan, terhadap pelayanan rumah sakit.

Demikian kesimpulan yang diperoleh melalui survei Citizen Report Card (CRC) Indonesia Corruption Watch (ICW) pada bulan November 2009, yang disampaikan Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik di Jakarta, akhir pekan lalu.

Keluhan tersebut, antara lain terkait dengan buruknya pelayanan perawat, sedikitnya kunjungan dokter pada pasien rawat inap, serta lamanya pelayanan oleh tenaga kesehatan (apoteker dan petugas laboratorium). Selain itu, pasien juga mengeluhkan buruknya kualitas toilet, tempat tidur, makanan pasien dan rumitnya pengurusan administrasi, serta mahalnya harga obat.

Survei ini mengambil sampel 738 pasien miskin (pasien rawat inap dan jalan yang memegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jamkesmas), Keluarga Miskin (Gakin) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) di 23 rumah sakit yang ada di lima daerah, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Dengan jumlah sampel ini, diprediksi margin of error (MOE) sebesar 3-4 persen. Metode penarikan sampel menggunakan two stage random sampling with pps.

Rumit
Ade mengungkapkan, pasien miskin menyatakan bahwa pengurusan administrasi rumah sakit masih rumit dan berbelit-belit (28,4 persen) dan dengan antrean yang panjang (46,9 persen). Pasien rawat inap misalnya mengeluhkan rendahnya kunjungan dan disiplin dokter terhadap mereka. Sementara itu, pasien perempuan rawat inap mengeluhkan sikap perawat yang kurang ramah dan simpatik terhadap mereka (65,4 persen).

Hasil survei CRC juga menunjukkan, masih ada pasien miskin pemegang kartu jaminan kesehatan, seperti Jamkesmas, Gakin dan SKTM, harus membeli obat (22,1 persen). Hal ini dilakukan karena sebagian obat tidak masuk daftar yang dijamin oleh jaminan kesehatan dan habisnya stok obat rumah sakit.

Meski telah mendapatkan layanan rumah sakit, namun pasien miskin ternyata juga menghadapi kendala mendapatkan kartu jaminan kesehatan. Hal ini terjadi karena rumitnya persyaratan administrasi dan adanya berbagai pungutan untuk mendapatkan keringanan atau berobat gratis.

Dari 738 pasien miskin, 7,9 persen di antaranya mengaku dipungut biaya untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan. Besarnya biaya tersebut cukup variatif, bergantung jenis kartu. Pasien Jamkesmas mengeluarkan biaya rata-rata sebesar Rp 345.000, pasien Gakin Rp 101.000 dan pasien SKTM Rp 89.000.

Untuk itu, Ade memberikan saran dibukakan mekanisme keluhan atau pengaduan (complain mechanism), serta menindaklanjuti keluhan tersebut secara transparan dan bertanggung jawab, sesuai Pasal 36 dan 37 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Menteri Kesehatan (Menkes) juga diminta untuk segera membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit, sebagaimana diatur dalam UU Rumah Sakit. Badan ini diharapkan mampu mengawasi pelayanan rumah sakit dan pemenuhan hak-hak pasien, serta mengambil tindakan administratif terhadap rumah sakit yang memberikan pelayanan buruk terhadap pasien miskin.

Berdasarkan UU Rumah Sakit, Menkes dapat mengambil tindakan berupa peringatan tertulis, pencabutan izin sementara atau izin tetap. (heru guntoro)
Sinar Harapan, 21 Desember 2009

------------

6,7 tiliun dan gaji presiden serta pejabat bisa menggratiskan rakyat miskin berobat.