Sabtu, 16 Januari 2010

Perjodohan pemupus cinta

Cinta dan Cita-Cita


Malam semakin larut, bulanpun enggan menunjukkan sinarnya yang cantik. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.59 WIB, satu menit lagi tengah malam. Seorang gadis duduk mendekap lututnya, mata itu terlihat sangat sayu. Rambutnya dibiarkan terurai, kadang terhempas oleh angin malam yang membelai. Gadis itu, termenung memikirkan kejadian yang beberapa hari ini menjadi bebannya. Masih sangat jelas ucapan orang tuanya, apalagi ayahnya, yang selalu berkata dengan nada tinggi. Ibunya, bah! Tidak prenah membelanya, malah mendukung ayahnya yang kolot itu.
“Perempuan itu, tak perlu sekolah tinggi-tinggi, menikah saja dengan Roni, anak juragan jagung itu, bukannya yah pelit, melarangmu melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi buat apa? Toh perempuan itu tetap saja didapur dan mengurus anak”Ucapan Sang ayah jelas masih medengung di gendang telinganya.
“Sudahlah, Wi! Kamu nurut saja sama ayahmu, kalian sudah dijodohkan “Sang ibu malah mendukung ayah. Dijodohkan? Tak pernah terlintas sama sekali dikeplanya untuk menikah Dini. Memang Roni laki-laki yang baik, berpendidikan, tapi dia belum bisa mandiri. Roni juga masih kuliah semester 8, sebentar lagi wisuda dengan gelar SPdi. Roni belum punya pekerjaan sendiri kalaupun meneruskan usaha ayahnya, sangat tidak cocok sekali dengan gelar yang akan disandang di belakang namanya.
“Tapi…… Dewi pingin kuliah, ayah!” Gadis itu bernama Dewi. Dia mencoba mempertahankan keinginannya.
“Tidak! Setelah kamu lulus SMA, dan Roni sudah diwisuda, kalian langsung dinikahkan!” Jawaban ayahnya membuat Dewi bungkam dan meneteskan air mata.
Tepat jam 00.00 WIB, Dewi menutup jendela kamarnya. Berjalan menuju tempat tidur, membaringkan tubuhnya dengan malas ke kasur, ditariknya selimut tebal berwarna biru muda. Tangannya membenarkan posisi batal di kepalanya. Mencoba memejamkan mata, matanya memang terpejam, tapi Dewi belum tidur. Dewi masih membayangkan kejadian beberapa hari belakangan ini. Roni? Kenal dengannya saja tidak, hanya dua kali sebulan bertemu saat dia ada di rumah. Bicara saja jarang sekali, apalagi menikah, sama sekali sulit di bayangkan. Universitas Negeri, masih itu yang ada dibenak Dewi. Masuk Universitas dengan jalur Tes Mandiri. Pasti sangat membanggakan, apalagi bila masuk Fakultas Sastra seperti harapannya. Tapi sayang, perjodohan itu memupuskan harapannya. Pernikahan harus menjadi dinding penghalang cita-citanya. Tanpa terasa, matanya benar-benar terpejam dalam tidur.
Pagi itu, udara sangat sejuk. Embun masih membasahi pohon-pohon di sekitar rumahnya, sambil menikmati udara pagi. Hari itu, hari Minggu, jadi Dewi tidak pergi ke sekolah. Rambut Dewi dibiarkan terurai, rambutnya yang lurus dan hitam menunjukkan keelokan wajahnya. Tanpa alas kaki, Dewi memijakkan kakinya di tanah, sambil menggerak-gerakkan tangannya menikmati udara pagi.
“Dewi!” Suara seorang pria mengagetkannya.
“Mas Roni!” Ucap Dewi spontan karena kaget.
Roni hanya tersenyum. Kebetulan hari itu Roni a da di rumah. Mungkin, kuliahnya libur.
“Dirumah, mas!” tanya Dewi basa-basi.
“Iya, kuliah libur” Jawab Roni. Ibu yang melihat Roni di halaman, segera mengajaknya masuk.
“Nak Roni! Ayo masuk!” Ibu Dewi melambaikan tangannya dari teras rumah.
“Terimakasih Bu’, Kebetulan lewat sini dan ketemu DEwi, jadi ngobrol sebentar” Roni menolak halus.
“Ngobrolnya di dalam saja!” Pinta ibu.
“Oh……. terima kasih! Saya lengsung pamit saja Bu’, ditunggu ayah di rumah, mari Bu’, Dewi” Roni undur diri. Beberapa langkah Roni meninggalkan Dewi, Dewi memanggilnya.
“Mas, Roni!” Panggil Dewi sedikit mengejar.
“Iya …….” Balas Roni sambil menoleh. Dewi terdiam sesaat. Roni mengerutkan dahi dan bertanya.
“Ada apa Dewi?” Tanya Roni kalem
”Anu.... mas, aku pingincerita sama mas Roni.” Ucap Dewi sedikit lembut.
“Boleh, ceritanya dirumah atau......”Roni menawarkan tempat untuk bercerita.
“Di empang saja, mas!” jawab Dewi.
“Empang?” Roni terkejut
“Ga, mau?” tanya Dewi, Roni menggelengkan kepala sambil tersenyum. Semakin kelihatan saja lesung pipit Roni, membuatnya terlihat manis.
Roni dan Dewi berjalan menuju empang yang tidak jauh dari mereka. Dewi duduk di tanah yang berumput dan masih basah oleh embun. Roni hanya berdiri atau mungkin karena jijik duduk di tanah.
“Mau cerita apa, wi!” tanya Roni mengawali.
“Ga, duduk mas?” tawar Dewi. Dengan terpaksa Roni duduk di samping Dewi.
“Kalau lulus SMA nanti, aku pingin kuliah, mas!” Dewi memulai ceritanya.
”Bagus, itu kenapa harus tanya pendapatku, Dewi?” Respon Roni.
”Itu yang aku takutkan, mas! Ayah melarangku kuliah, ayah bilang perempuan ga’ perlu sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ngurusin anak sama dapur!” Keluh Dewi.
”Emang mo ambil fak apa?” tanya Roni.
”Sastra” jawab Dewi tegas.
”ha...ha....ha” Roni tertawa.
”kok ketawa sih mas?” Tanya Dewi, dengan sedikit memonyongkan bibirnya.
”Tok sastra sih, MIPA atau Informatika kek” Saran Roni.
”Tapi, aku pingin sastra mas!” Dewi menegaskan.
”Iya, ga’ pa-pa, sastra ga’ jelek-jelek amat kok, Cuma, orang sastra biasanya agak aneh” jelas Roni. Dewi tersenyum tipis.
”Mas bisa aja.....” jawab Dewi kemudian.
”Emang mau jadi apa?” Tanya Roni.
”.....Aq pingin jadi pemain teater, ma” Jawab Dewi.
”Hua....ha....ha...” Roni ngakak.
”kok ketawa mas?” lucu ya?’ tanya Dewi dengan gemas.
“ Ya….mas sih
dukung aja ga’ apa-apa kok” jawab Roni.
Hari sudah siang. Matahari mulai menembus kabut yang menyelimuti pagi, tanpa terasa Dewi dan Roni telah menghabiskan banyak waktu di empang. Bercerita ini itu, masalah Dewi dan skripsi Roni yang belum juga selesai.
“Abis lulus, mas mau ngapain?” Tanya Dewi.
“Mo nikah!” jawab Roni dengan yakin.
“Nikah?” PD banget, emang udah mapan? Udah siap?” ledek Dewi.
”Ya....abis mo gimana lagi, mas kan nurut apa kata ayah....sebagai anak yang baik, mas mau aja dijodohin, Cuma ini yang bisa buat ayah seneng, toh pasti ayah udah milih yang terbaik buat mas.” Jawab Roi panjang lebar. Dewi hanya terdiam. Dewi tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Dewi takut menyakiti hati Roni yang sangat taat pada ayahnya.
”Mas Roni aja nurut sama ayahnya, masa aku ga’ sih” pikir Dewi dalam hati, tapi ceritanya lain, sebentar lagi Roni lulus S1, sedangkan Dewi lulus SMA. Masih harus mengorbankan masa-masa remajanya dengan menikah, padaha di masa-masa itu banyak hal yang ingin dilakukan oleh Dewi.
”Kamu nglamun Wi?” Tanya Roni.
”Eh...ga’ kok, mas ! Dewi pulang dulu ya, sudah siang!” dewi pamit pulang.
“Aku tau Wi!” kamu mungkin sulit menerima kenyataan ini, orang tua kita emang kolot, tapi bisa apa kita?” Ucap Roni lirih setelah Dewi pergi. Roni tau betul bahwa perjodohan ini tetap berlangsung dan sangat membuat Dewi terpukul, merasa sangat dipojokkan, menghalangi cita-citanya. Tapi, bisa apa Roni. Apa yang bisa dilakukannya, dia anak yang penurut, taat, dan hormat pada ayahnya yang sama arogannya dengan ayah Dewi. Percuma membela diri, akhirnya hanya buang-buang energi.
Malam itu udara dingin, Dewi duduk di teras rumah, merenungi nasibnya, nasib cita-citanya.
Tak ada yang bisa mengerti dia, bahkan Dewi sudah bercerita pada Roni, dengan harapan Roni mengerti isi hatinya. Siapa bilang Roni tidak mengerti? Roni sangat mengerti kerisauan Dewi, tapi apa yang bisa dilakukan Roni, ayah mereka sangat berambisi menikahkan mereka. Entah, pemikiran darimana, tiba-tiba saja Dewi punya ide gila, bahkan sangat gila. Ide untuk menggagalkan perjodohan itu.
Dewi sangat gelisah malam itu, sulit sekali memejamkan mata, menanti esok menjelang. Ingin segera Dewi menemui Roni dan menyampaikan ide gilanya itu pada Roni. Dewi sangat berharap Roni menyetujuinya. Dewi mencoba memejamkan matanya rapat-rapat agar dia bisa tidur, karena malam sudah semakin larut, saatnya beristirahat.
”Gila kamu Wi!’ Respon Roni saat mendengar ide Dewi yang sungguh memang gila”
”Tapi, ma! Cuma ini satu-satunya cara supaya kita batal nikah” bantah Dewi dengan semangat membara. Roni terdiam.
”Mas! Aku ga’siap seadainya harus nikah sekarang” Tambah Dewi.
”Bukan sekarang, wi! Tapi setelah kamu lulus SMA, dan setelah aku diwisuda SI” Jelas Roni.
”Tapi, aku belum pingin nikah setelah aku lulus, mas!” bantah Dewi sekali lagi.” Aku ingin kuliah, mas!”
”Aku thau, aku sangat menghargai cita-cita dan harapan mu, dan sifat ayah kita yang konservatif itu pasti sulit sekali kamu terima, tapi....” Roni tidak melanjutkan ucapannya.
”Tapi .....apa, mas! Tapi aku harus kubur dalam cita-cita dan harapan aku itu.....iya, mas! Gitu? Itu yang mas mau, mas ga’ pingin liat aku berhasil?” Tuntut Dewi. Roni hanya merunduk. Roni sangat kasihan melihat Dewi, tak kuat rasanya melihat harapan Dewi pupus hanya gara-gara perjodohan ini.
“mungkin, mas coba bicara dulu sama ayah” ucapan Roni sangat pesimis. Membuat Dewi makin gemas.
”mas! Dengerin aku! Berkali-kali aku udah coba bilang ke ayah, tapi apa jawaban ayah! Perempuan ga’ perlu sekolah tinggi-tinggi” Jelas Dewi, saking sebalnya dengan sikap Roni yang lembek, sampai-sampai mulutnya monyong lima centimeter. Roni tersenyum tipis melihat tingkah Dewi.
”Trus gimana mau kamu?” Tanya Roni mengalah.
”Ya....rencanaku tadi itu, mas!” Dewi tetap pada ide gilanya itu.
”Tapi, wanita mana yang mau jadi pacarku Wi?” pura-pura hamil lagi, itu kan sangat memalukan, mencemarkan keluarga Wi!” sanggah Roni.
”Cuma itu, mas! Yang bikin ayahku ilfeel, trus ngebatalin perjodohan kita deh....ok kan!” Jelas Dewi sambil menunjukkan jempolnya.
”Terseran kamu aja, deh!” tapi kamu yang cari cewe’nya dan yang lebih cantik dari kamu, harus!” Tuntut Roni sebagai syarat.
”Ok, deh mas!” jawab Dewi sambil tersenyum lebar.
Pikiran Dewi sedikit cerah, otaknya segar kembali, semangat hidup juga sudah ada. Kini saatnya melanjutkan perjuangan buat meyakinkan ayah supaya mengizinkannya kuliah. Ini akan menjadi cerita hidup yang sangat mengesankan. Diam-diam Dewi menulis liku-liku ini dalam sebuah novel. Dan....Roni. dia akan jadi salah satu tokoh dalam novel itu.
”Mas, Roni!” sapa Dewi pagi itu, saat Roni menyiram kembang,
”Eh, Dewi! Ada apa wi! Pagi-pagi udah kesini?” Tanya Roni, sambil merapikan kerah bajunya.
”Em, gini mas, soal rencana yang kemaren itu,” belum selesai Dewi ngomong, Roni sudah motong duluan.
”Batal? Bagus deh!’ sela Roni
“Bukan, mas! Cewe’nya aku belum dapet. Mas ga’ punya kenalan di kampus ya...? Mungkin sahabat cewe’ atau ibu kantin kek…..” jelas Dewi sambil bercanda.
”Enak aja, masa’ ibu kantin aku hamili sih? Ngaco’ kamu? Ealah...wi.wi! aku kira kamu pingin ngebatalin rencana konyol!” Keluh Roni.
”Ga, ada kata menyerah buat Dewi, mas! Jadi gimana mas?’ Tanya Dewi mencari kepastian.
”Temen cewe’ banyak kok, tenang aja. Yang pemalu sampe’ yang ga’ tau malu juga aku kenal. Dua minggu lagi aku balik kesini bawa dia, dan akan aku kenalin ke ayah sebagai pacar aku dan mengaku mengandung anak aku sepertiyang kamu inginkan, Dewi! Roni menjelaskan.
Ternyata Roni mendukung rencana Dewi, walaupun dia sedikit ragu menjalankan rencana itu karena diam-diam Roni menyukai Dewi. Semangat Dewi untuk mengejar cita-cita dan harapannya membuat Roni simpati. Roni akan mengorbankan apapun untuk membantu Dewi meraih cita-citanya.
”Wah! Makasih banget ya, mas!” jasa mas ga’ bakal Dewi lupa......, Da.....mas! Dewi pergi meninggalkan Roni.
”Semoga berhasil, wi!” ucap Roni lirih. Roni pun melanjutkan pekerjaannya.
Sore itu, Dewi dan ayah Roni mengantarkan Roni ke stasiun, Roni harus kembali ke Surabaya, untuk menyelesiakan skripsinya.
”Hati-hati, yo....le!” pesen ayah Roni sambil memeluk anak laki-laki kebanggaannya.
”Mas, pergi ya, wi!” pamit Roni pada Dewi.
“Aku tunggu dua minggu lagi ya, mas!” Dewi mengingatkan rencana itu sambil tersenyum.
“.....Roni diam dan balas tersenyum. Kereta berangkat, tangan Roni melambai pada Dewi. Dewi melambaikan tangannya. Tanpa sadar Dewi terisak.,
”Hati.....hati......mas Roni!” cepet pulang ya!” teriakan Dewi samar-samar didengar oleh Roni. Roni pun tersenyum, lesung pipinya membuatnya tambah manis.
”Ayo, nduk!” ayah Roni mengajak Dewi pulang. Dewi menurut. Apakah Dewi tega membohongi seorang ayah yang sangat tulus menyayanginya, sebagai calon menantu. Calon menantu? Risih rasanya menyebut Dewi seperti itu, karena belum diinginkan Dewi untuk saat ini. Sepanjang perjalanan pulang, Dewi terus memikirkan rencana bodohnya itu. Sikapnya membuat ayah Roni bingung.
”Ada apa, nduk? Kok nglamun?” tanya sang ayah.
”Eh, ga’ ada apa-apa kok, Cuma.....” Dewi memotong ucapannya.
”Cuma apa? Mikirin nak Roni, tenang aja! Nak Roni akan segera kembali kok!” ucap ayah Roni yang membuat Dewi geli dan terpaksa tersenyum.
Dewi membaringkna tubuhnya di kasur. Menarik selimut dan menyembunyikan tubuhnya didalam. Rasanya hangat. Dewi masih memikirkan rencana gila itu, pasti bila rencan itu benar-benar dijalankan, dia akan sangat berdosa. Menyakiti ayah Roni, mencemarkan nama keluarga. Ah! Betapa malunya ayah Roni nanti. Pasti ayahnya sendiri akan mengira bahwa Roni bukan pemuda baik-baik. Wah! Banyak sekali pihak-pihak yang akan dirugikan. Mungkinkan rencana itu akan benar-benar terjadi? Beberapa hari Dewi memikirkan problemnya. Dewi tak ingin menikah untuk saat ini, tapi rencana itu pasti akan melukai banyak pihak. Seandainya menikah, bagaimana kuliahnya? Kalaupun melanjutkan, pasti rumah tangganya akan keteteran. Ingin sekali Dewi berontak, supaya para orang tua itu mengerti isi hatinya, dan menunda pernikahan itu sampai Dewi meraih apa yang sudah menjadi impiannya, menunda? Apakah Dewi memang berharap Roni sebagai pendamping hidupnya?
”Menurutmu, nak Roni bagaimana, nduk?” tanya ayah Dewi, suatu malam di ruang tengah.
”Baik, dewasa, Cuma kadang kurang tegas” jawab Dewi.
”Kamu suka?” tanya ibunya menambahkan
”Suka” jwab Dewi tanpa sadar.
”Eh! Maksud Dewi, jangan sekarang! Ntar kalo’ Dewi udah lulus kuliah” tambah Dewi menjelaskan.
”Dewi!” bentak ayahnya ” Ayah sudah bilang, lupakan saja pikiran tentang kuliahmu itu. Buat apa? Menikah sekarang atau nanti, sama saja,ujung-ujungnya menikah juga”.
”Tapi, ayah....” Dewi tak sempat melanjutkan kata-katanya.
”Diam! Ayah tidak ingin mendengar ocehan mu itu” potong sang ayah. Dewi pergi meninggalkan kedua orangtuanya.
Roni sebenarnya Roni itu pemuda yang baik dari keluarga berada, ayahnya sahabat ayah Dewi. Sama-sama egois dan kolot. Roni juga tampan, lumayan untuk pendamping hidup, penyabar. Apa yang kurang dari Roni? Tidak ada yang kurang dari Roni, hanya saja waktu datang tidak tepat. Harusnya Roni hadir beberapa tahun lagi setelah Dewi kuliah atau bahkan setelah Dewi diwisuda dengan gelas SS, pasti lebih mebahagiakan. Dan juga rencana itu, apakah Roni sudah menemukan wanita yang akan pura-pura menjadi pacar yang telah dihamilinya. Pacar? Rasanya Dewi tak ikhlas mendengarnya. Dewi tak ikhlas seandainya Roni benar-benar punya pacar. Apakah Dewi jatuh cinta pada Roni, tapi kenapa Dewi tidak menerima saja perjodohan kedua ayah mereka. Roni merupakan seorang calon suami yang mendekati sempurna. Tapi, mengingat cita-cita dan harapannya, bayangan Roni sedikit demi sedikit pergi menghilang. Bagai asap dihempas oleh udara.
Dua minggu telah berlalu, Dewi masih dalam kebimbangan. Membuatnya sedikit kurus. Walau dua minggu telah terlewati, Roni belum juga pulang. Hati Dewi semalam gelisah, diam-diam Dewi rindu kepada Roni, tapi dipendam dalam-dalam perasaannya, walau kadang merayu untuk menerima perjodohan itu. Dasar perasaan aneh. Dewi terus mungkir akan perasaan cinta yang sedikit demi sedikit menyubur, membuatnya merindukan Roni untuk beberapa hari ini. Kenapa Roni belum juga kembali, dua minggu lebih tiga hari. Apa yang Roni lakukan disama? Apakah dia belum menemukan wanita itu. Wanita yang akan diakuinya sebagai pacar yang dihamili. Waktu terus berjalan tanpa ada kabar dari Roni, sebentar lagi Dewi mengikuti Ujian Nasional. Kepastian tentang rencana gila itu belum juga muncul. Roni belum pulang.
”kring....!kring....!” telpon berdering, ibu Dewi mengangkat telpon
”Halo! Dewi!” suara diseberang sana.
“Ini siapa?” tanya ibu Dewi
“Ini Roni, bu! Saya mau bicara dengan Dewi, jawab Roni.
“Iya ibu panggilkan dulu! Balas Ibu
”Iya mas! Ini Dewi’ jawab Dewi dari seberang.
“Gimana kabar kamu, wi!” Tanya Roni. Dewi terdiam sesaat. Sedikit sebal juga. Apakah Roni tidak merasa bahwa Dewi sangat merindukannya.
”Wi?” Roni mengulang, karena tak ada jawaban apa-apa dari Dewi.
”Em...iya, mas, aku baik,kapan pulang? Tanya Dewi
”Sori, wi!” mungkin satu minggu lagi, aku belum dapet cewe’ nih! Susah Roni memberi alasan. Aduh! Rasanya sakit mendengar ucapan Roni, tapi bagaimaa cara menyampaikan perasaan itu.
”Oh...ga” pa-pa kok mas! Cepat pulang ya....mas! soalnya sebentar lagi aku ujian” Jelas Dewi.
”Oh, iya, iya! Aku usahain, wi!” jawab Roni.
Dewi menutup telepon. Tetes air mata jatuh dipipinya. Roni kenapa Dewi begitu merindukan sosok Roni didekatnya. Kenapa perasaan seperti itu muncul dihatinya. Perasaan rindu itu bukan kehendak Dewi. Tak pernah Dewi berharap ini semua terjadi. Pasti ini cinta. Sama sekali Dewi tak percaya bahwa perasaan itu adalah cinta.
Belum ada satu minggu, Roni telah kembali. Menepati janjinya. Roni datang dengan seorang wanita cantik, tinggi dan kelihatannya cerdas. Seperti saat megnantar, Roni juga dijemput di stasiun oleh Dewi dan ayah Roni. Roni turun dan menemui mereka. Menyalami ayahnya dan tersenyum manis kepada Dewi. Belum diperkenalkan, tapi wanita itu telah menunjukkan keakraban. Senyumnya yang manis membuat ayah Roni penasaran dan bertanya.
“Lho, Roni! Nduk ayu ini siapa?” Tanya sang ayah.
“em, begini ayah! Kita bicarakan dirumah saja” Jawab Roni bertele-tele. Air muka Dewi berubah pucat. Dewi lemas, tak kuat membayangkan apa yang akan tejradi. Roni berjalan bersama ayahnya juga wanita itu, Dewi menyusul ketiganya dibelakang.
“Ayo, dnuk!” pinta ayah Roni sambil meraih tangan Dewi. Kenapa tiba-tiba perasaan Dewi berubah. Dewi menggenggam tangan ayah Roni. Rasanya tak ingin Dewi melepas kehangatan tangan sang ayah mertua yang menyayanginya tu. Geli memang bila membayangkan perjodohan itu benar-benar terjadi. Tapi, Dewi belum siap menikah. Tapi, Dewi takut membayangkan rencana yang tak lama lagi akan terealisasi.
Roni, ayah wanita itu, juga Dewi telah tiba di rumah Roni. Dirumah itu telah hadir kedua orang tua Dewi. Mampus! Semakin pusing saja kepala Dewi, tidak kuat membayangkan rencana yang akan terjadi.
”Itu, nak Roni!” tunjuk ibu Dewi dari teras.
”Roni....! Ibu Roni memanggil putra kesayangannya. Roni berjalan cepat menuju ibunya. Menyalami ibunya dan kedua orang tua Dewi. Tak lama ayah Roni dan perempuan itu hadir di tengah-tengah mereka. Dewi masih memperlambat langkahnya. Dengan harapan rencana itu tidak usah terjadi.
”Dewi, cepat! Pinta ibu Roni.
”Inggih bu’ Jawab Dewi. Dengan terpaksa, Dewi segera bergabung. Roni dan perempuan itu duduk berdampingan bersama segenap keluarga. Dewi duduk tak jauh dari Roni. Mereka berbincang-bincang tak henti. Sekali-kali mereka tertawa, mendengar cerita Roni, hanya Dewi yang tidak menikmati kebersamaan itu. Tak ada yang mengerti isi hati Dewi. Tiba saatnya, hal yang ditakutkan Dewi terjadi.
”O, iya, nak! Memangnya nak Rina ini siapa?” Tanya ibu Dewi, tiba-tiba! Pertanyaan yang sangat mengejutkan Dewi. Ingin rasanya Dewi lari dari ruangan itu. Wanita yang datang bersama Roni itu bernama Rina. Tidak langsung menjawab, tapi Roni menoleh dulu ke arah Dewi. Dewi hanya menunduk. Rinapun menunduk, Rina tak mampu menyaksikan hasil dari penipuannya.
“Sebelumnya Roni minta maaf sama kalian semua, terutama sama ayah dan om, juga Dewi. Rina ini,……em pacar saya….ya! om!”Jwab Roni sedikit kaku.
”Gila kamu, Ron!” bentak ayah Roni.
”Bukankah kamu sudah tau bahwa kami telah menjodohkan kamu dengan Dewi. Sebentar lagi kalian tunangan” tambah ayah Roni. Semua menatap Roni penuh pertanyaan. Tak ada yang mengira Roni seperti itu.
”Nak Roni!” om kecewa sekali sama kamu. Kami semua percaya sama kamu, tapi.....” ayah Dewi tak mampu melanjutkan kalimatnya.
”Saya tahu ayah telah menjodohkan saya dengan Dewi, saya juga bisa memutus hubungan dengan Rina kalau saja....”Jelas Roni tanpa melanjutkan jawabannya.
”Kalau saja apa?” Tanya ibu Roni.
”Kalau saja, Rina tidak mengandung anak saya” Jawab Roni tegas. Jawaban yang tegas itu membuat semuanya terkejut. Tanpa sadar Dewi jatuh di lantai.
”keterlaluan kamu, Ron!” bentak ayahnya
”Dewi!” bangun, nduk! Ibu Roni mencoba membangunkan Dewi. Menepuk-nepuk pipinya. Tapi Dewi tak sadarkan diri, belum juga membuka matanya.roni mulai gelisah. Roni beranjak dan menggendong Dewi ke kamar. Ibu Dewi mengusap-usap minyak angin di hidung Dewi. Rina masih terdiam di ruang tamu,tak tahu apa yang harus dilakukan.rina pun tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rina sedikit menyesal.
Beberapa menit telah berlalu, Dewi belum juga bangun. Ibu Dewi dan Ibu Roni menemani Dewi di kamar, sementara ayah Roni dan Ayah Dewi menanyai Roni dan Rina di ruang tamu.
”Jelaskan semuanya RonI! Ayah ingin mendengar penjelasanmu! Pinta ayah Roni. Roni tak langsung menjawab. Roni masih memikirkan Dewi. Kenapa Dewi pingsan? Apakah dia terkejut, tapi bukankah dia yang merencanakan ini semua atau,Dewi menyesal setelah ini terjadi. Mungkinkah Dewi....ah Tidak mungkin Dewi menyukai Roni. Segera ditepiskan pikiran itu. Dewi sangat berambisi untuk kuliah. Tidak mungkin Dewi menyesali kejadian itu. Mungkin Dewi hanya kurang sehat.
”Ron! Ayah ingin kamu jawab dengan jujur. Pinta ayah Roni sekali lagi.
”Lebih baik kita tunggu sampai Dewi sadar, ayah!” Roni memberi tawaran.
”Baiklah, lebih baik Dewi mendengarnya langsung dari kamu” ucap sang ayah.
Setengah jam kemudian Dewi sadar. Air matanya menetes. Dewi memanggil Roni dengan lirih.
Mas roni!mas roni! Dewi memanggil Roni. Roni masuk ke kamar diikuti ayah Roni, ayah Dewi dan juga Rina.
“Iya, Dewi! Ini mas Roni! Jawab Roni. Roni melihat Dewi yang terbaring lemas.
”Mas! Dewi minta mas jelaskan semuanya dengan jujur, sama semuanya. Bukan tentang mbak Rina, tapi tentang kita” ucap Dewi. Semua saling pandang penuh pertanyaan.
”Baiklah Dewi! Jawab Roni memenuhi permintaan Dewi.
”jadi sebenarnya saya telah berbohong. Rina bukan pacar saya. Dan saya tidak menghamilinya. Ini saya lakukan atas kemauan Dewi. Dewi ingin perjodohan ini dibatalkan, karena Dewi ingin kuliah setelah lulus SMA, tapi tak seorangpun dari kalian yang mengerti Dewi. Jadi kami merencanakan lelucon ini untuk menggagalkan perjodohan kami. Tapi, entah kenapa Dewi meminta saya untuk berkata jujur” Jelas Roni. Rina hanya tersenyum mengingat lelucon yang baru saja ia perankan.kini semua mata tertuju pada Dewi.
”Saya meminta mas Roni jujur karena saya tidak ini perjodohan ini batal” jawab Dewi.
”jadi? Kamu mau menikah dengan Roni?” Tanya ayah Dewi bahagia.
”Nduk...nduk...kamu ini kok aneh-aneh tho? Tapi tak apalah wis tak maafkan” Timpal ayah Roni. Roni tak percaya dengan apa yang diucapkan Dewi.
”Saya tidak ingin kehilangan mas Roni, tapi....”
”Tapi apa” Tanya Roni
”Izinkan kam tunangan dulu, saya tetap ingin kuliah’ ucap Dewi sedikit putus asa tak apa kalau seandainya ayah menolak keinginannya untuk kuliah. Roni tersenyum. Ternyata Dewi menerimanya sebagai calon suami.
”Siapa yang melarangmu kuliah, nduk? Tanya ayah Roni’ Kuliah saja, capai cita-cita, ayah senang punya menantu berpendidikan, bukan Cuma didapur dan ngurus anak saja” tambah ayah Roni. Ayah Dewi tertunduk malu. Dewi meneteskan airmata haru. Ternyata calon ayah mertuanya itu begitu bijaksana. Bukan seperti bayangannya. Juga tak sekolot ayahnya.
”kok kamu bisa berubah pikiran, Wi!” Tanya Roni malam itu. Roni telah diwisuda. Dua hari lagi Dewi mengikuti Ujian Nasional. Roni akan bersungguh-sungguh melanjutkan S2 nya. Dewi tersenyum mendengar pertanyaan Roni.
”Kok senyum? Jawab dong!”pinta Roni.
“Mas yang buat aku berubah pikiran” jawab Dewi.
?O…ya” respon Roni
“Aku….” Dewi sulit sekali melanjutkan kalimatnya
”Jatuh cinta sama kamu” Roni melengkapi kalimat Dewi.
”Bukan! Aku g’ harus mengorbankan kebahagiaan ayah kan, untuk kuliah, jadi aku pilih jalan tengah” jelas Dewi.
”Jalan tengah? Tanya Roni
”Tetep kuliah, tapi tetep menerima perjodohan kita” tmabah Dewi. Bukan! Bukan sepenuhnya karena ayah. Tapi bener-bener karena Roni. Tapi Dewi tak menunjukkannya pada Roni.
”Dan akhirnya, inilah ending dari novelku” ucap Dewi sambil menepuk kedua telapak tangannya.
”Novel apa?” Tanya Roni. Roni belum tahu bahwa Dewi menulis ini semua menjadi sebuah novel. Dengan Judul Cinta dan Cita-cita.
‘Cinta dan Cita-cita” Jawab Dewi
“Kamu nulis novel?” Tanya Roni lagi.
“Iya, jadi perjuanganku buat kuliah, aku tulis jadi novel dan akhirnya happy ending….? Jawab Dewi girang.
“Jadi, tokoh utamanya dapetin cinta atau cita-cita?” tanya Roni penasaran.
“Dua-duanya, kan happy ending” Dewi menjawab dengan senyum khasnya.
“Enak banget tokoh utamanya….”Respon Roni. Dewi tersenyum.

sumber : http://cerpen.net/cerpen-remaja/cinta-dan-cita-cita.html